Jumat, 11 Oktober 2013



Faktor Penyebab Terjadinya Pembiayaan Bermasalah Pada BPRS di Indonesia

Irman Firmansyah
Staf Pengajar pada Prodi Akuntansi FE UNSIL
Konsultan pada Smart Consulting
Email: irman.firmansyah@akuntanindonesia.or.id

Abstrak
NPF is indicator that show problem in managing finance at BPRS so that author interested to analyze factors that influence to NPF at BPRS in Indonesia there are size, FDR, BOPO, GDP and inflasi. This Research is empirical study at BPRS in 3 periods of observation in 2010-2012. Method applied this research is analytical quantitative method with empirical study approach. Data collecting technique by through secondary data that is data obtained from Indonesia sharia banking statistic. Analyzer applied is Ordinary Lease Square (OLS). The result shows that FDR and GDP have positivelly affect, inflasi have negativelly affect, but size and BOPO have not affect to NPF at BPRS in Indonesia

Keywords: Size, BOPO, FDR, GDP, Inflasi, BPRS, OLS

1. Latar Belakang
Bank merupakan lembaga keuangan yang terpenting yang mempengaruhi perekonomian baik secara mikro maupun secara makro. Fungsinya sebagai perantara keuangan (financial intermediary) antara pihak-pihak yang surplus dengan pihak-pihak yang membutuhkan dana atau defisit. Dalam menjalankan usahanya sebagai lembaga keuangan yang menjual kepercayaan dan jasa, setiap bank berusaha sebanyak mungkin menarik nasabah baru, memperbesar dana-dananya dan juga memperbesar pemberian kredit dan jasa-jasanya (Simorangkir, 2004). Menurut Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, jenis perbankan terdiri dari Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sedangkan pada perbankan syariah BPR yang dimaksud yaitu Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Sebagian besar bank yang ada di Indonesia masih mengandalkan kredit sebagai pemasukan utama dalam membiayai operasionalnya. Menurut Siamat (2005) salah satu alasan terkonsentrasinya usaha bank dalam penyaluran kredit adalah sifat usaha bank sebagai lembaga intermediasi antara unit surplus dengan unit defisit, dan sumber utama dana bank berasal dari masyarakat sehingga secara moral mereka harus menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Sebagaimana umumnya negara berkembang, sumber pembiayaan dunia usaha di Indonesia masih didominasi oleh penyaluran kredit perbankan yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemberian kredit merupakan aktivitas bank yang paling utama dalam menghasilkan keuntungan, tetapi risiko yang terbesar dalam bank juga bersumber dari pemberian kredit. Oleh karena itu pemberian kredit harus dikawal dengan manajemen risiko yang ketat (InfoBankNews.com, 2007 dalam Pratama, 2010).

Pada perbankan syariah, istilah kredit tidak digunakan karena identik mengandung unsur riba yang diharamkan oleh agama, sehingga istilah yang digunakan yaitu pembiayaan. Berbeda dengan kredit, pembiayaan lebih mengutamakan unsur kesepakatan dan transparansi sehingga niali-nilai islam tetap terjaga. Pada kenyataannya dari jumlah pembiayaan yang disalurkan kepada masyarakat tersebut tidak semua pembiayaan berkategori sehat tetapi diantaranya merupakan pembiayaan yang mempunyai kualitas buruk atau bermasalah. Pembiayaan bermasalah ini dalam dunia perbankan syariah disebut Non Performing Finance (NPF), ini merupakan fenomena biasa dalam dunia bisnis karena salah satu kegiatan utama perbankan syariah berasal dari penyaluran pembiayaan. Jika pembiayaan bermasalah melampaui batas kemampuan, maka akan menjadi masalah serius yang akan mengganggu profitabilitas bank bahkan mengancam likuiditas terutama pada bank yang mempunyai kedekatan dengan masyarakat kecil seperti BPRS.
Beberapa hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya pembiayaan macet ternyata mempunyai hasil yang berbeda-beda, yang terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal seperti pada penelitian berikut:
Dari aspek internal, Adisaputra (2012) menemukan hasil bahwa BOPO dan Loan to Deposit Ratio (LDR) berpengaruh positif terhadap NPL. Altunbas et al. (2000), Hughes and Mester (1993) dan Girardone et al. (2004) menemukan bahwa ada hubungan negatif antara bank yang tidak efisien (BOPO) dengan non performing loan. Begitupun Misra dan Dhal (2009)  dalam Diyanti (2012) menemukan bahwa BOPO berpengaruh positif terhadap NPL, Berbeda dengan Faiz (2010) yang menemukan hasil bahwa LDR berpengaruh negatif terhadap NPL. Faktor lainnya yaitu ukuran bank pada penelitian Misra dan Dhal (2010) mengemukakan bahwa ukuran berpengaruh positif terhadap NPL. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Ranjan dan Dhal (2003) dalam Jayanti (2013) menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif antara ukuran dengan NPL.
Adapun faktor penyebab pembiayaan bermasalah dari sisi eksternal yang direpresentasikan oleh Gross Domestic Product (GDP) dan inflasi. Salas dan Saurina (2002) menunjukkan adanya hubungan antara GDP dengan NPL. Hasil penelitian itu ditegaskan oleh Jimenez and Saurina (2005) bahwa NPL dipengaruhi oleh GDP. Wu, et al (2003) dalam penelitian mereka menunjukkan bahwa GDP berpengaruh negatif signifikan terhadap kredit bermasalah. Sementara dalam penitian Khemraj dan Pasha (2012), Rahmawulan (2008), Ahmed (2006) dan Lindiawati (2007) dalam Mutamimah dan Chasanah (2012) menunjukkan hal sebaliknya, GDP berpengaruh positif signifikan terhadap kredit bermasalah. Lain lagi penelitian Soebagia (2005), Nasution dan Williasih (2007), dalam penelitian mereka diketahui bahwa GDP tidak berpengaruh signifikan terhadap kredit bermasalah. Sedangkan penelitian seperti penelitian oleh Soebagia (2005), Rahmawulan (2008), dan Faiz (2010), diketahui bahwa inflasi berpengaruh positif signifikan terhadap kredit bermasalah. Sedangkan dalam penelitian Wu, et al. (2003) dan Ihsan (2011) dinyatakan tidak ada pengaruh signifikan antara inflasi terhadap kredit bermasalah.
Berdasarkan hasil penelitian di atas kebanyakan penelitian dilakukan pada perbankan konvensional baik yang dilakukan di dalam negeri maupun di luar negeri dengan hasil penelitian masih belum konsisten sehingga diperlu­kan sebuah kajian kembali mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya Non Performing Finance (NPF) pada BPRS di Indonesia di antaranya faktor internal terdiri dari ukuran bank, FDR, BOPO serta faktor eksternal yaitu Gross Domestic Product (GDP) dan inflasi. Penelitian ini dilakukan pada BPRS karena BPRS mempunyai tujuan membantu perekonomian masyarakat bawah terutama di daerah dengan semangat ukhuwah islamiyah sehingga sangat penting untuk diketahui faktor-faktor yang menjadi kendala dalam menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat.

2. Telaah Pustaka
2.1. Teori Decision Usefulness
Teori kegunaan keputusan (decision usefulness theory) telah dikenal sejak tahun 1954 dan menjadi referensi dari penyusunan kerangka konseptual Financial Accounting Standard Boards (FASB), yaitu  Statement of Financial Accounting Concepts (SFAC) yang berlaku di Amerika Serikat. Kegunaan-keputusan informasi akuntansi mengandung komponen-komponen yang perlu dipertimbangkan oleh para penyaji informasi akuntansi agar cakupan yang ada dapat memenuhi kebutuhan para pengambil keputusan yang akan menggunakannya.
Perspektif pelaporan keuangan yang memfokuskan pelaporan informasi yang berguna bagi investor disebut pendekatan kegunaan-keputusan (decision usefulness approach). Orang pertama yang menggunakan paradigma kegunaan keputusan (decision usefulness) adalah Chambers. Ia mengatakan sebagai berikut (Belkoui, 2001:14):
“Oleh karenanya, akibat yang wajar dari asumsi manajemen rasional adalah bahwa seharusnya ada sistem yang menyajikan suatu informasi; seperti sistem yang diperlukan baik untuk dasar pembuatan keputusan atau dasar untuk memperoleh kembali konsekuensi keputusan… Sistem yang menyajikan informasi secara formal akan menyesuaikan dengan dua dalil umum. Pertama adalah kondisi dari setiap wacana ilmiah, sistem seharusnya secara logika konsisten; tidak ada aturan atau proses yang dapat bertentangan dengan setiap aturan atau proses lainnya. Kedua muncul dari pemakai laporan akuntansi sebagai dasar pembuatan keputusan dari konsekuensi praktik, informasi yang dihasilkan oleh setiap sistem seharusnya relevan dengan berbagai bentuk pembuatan keputusan yang diharapkan dapat digunakan”.
Terdapat dua perspektif dalam pendekatan kegunaan-keputusan, yaitu perspektif informasi (information perspective) dan perspektif pengukuran (measurement perspective) (Beaver, 1998; Scott, 2009). Perspektif informasi lebih menekankan pengungkapan penuh (full disclosure), apapun bentuknya, untuk meningkatkan kegunaan informasi akuntansi bagi investor. Perspektif informasi didasari asumsi bahwa terdapat cukup banyak investor rasional terinformasi, yang dapat secara cepat dan tepat memasukkan bentuk pengungkapan apapun ke dalam harga pasar yang efisien. Sebaliknya, perspektif pengukuran lebih menekankan peran fundamental dari informasi akuntansi keuangan untuk menentukan nilai perusahaan.
Kaitan teori decision usefulness dengan penelitian ini yaitu bahasan yang dikaji mengenai informasi yang tersaji dalam laporan keuangan yaitu mengenai informasi-informasi yang dibutuhkan dan digunakan oleh investor dalam mengambil keputusan untuk berinvestasi terutama variabel non performing finance (NPF) serta faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu faktor internal (rasio keuangan) dan faktor eksternal (makroekonomi).

2.2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
Menurut UU Perbankan No. 7 tahun 1992 Pasal 1 ayat (3) bahwa BPRS adalah lembaga keuangan yang menerima simpanan ung hanya dalam bentuk deposito berjangka tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dalam bentuk itu dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR. Sedangkan menurut UU Perbankan No. 10 tahun 1998 Pasal 1 ayat (4) bahwa BPR adalah lembaga keuangan bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa BPRS adalah BPR konvensional yang operasionalnya bedasarkan prinsip syariah. Pelaksanakan BPR yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selanjutnya diatur menurut SK Direktur BI No. 32/36/KEP/DIR/1999 tanggal 12 Mei 1999 tentang BPR berdasarkan prinsip syariah.

2.3 Non Performing Finance (NPF)
Tingkat kelangsungan usaha bank berkaitan erat dengan aktiva produktif yang dimilikinya, oleh karena itu manajemen bank dituntut untuk senantiasa dapat memantau dan menganalisis kualitas aktiva produktif yang dimiliki. Kualitas aktiva produktif menunjukkan kualitas asset sehubungan dengan risiko kredit yang dihadapi oleh bank akibat pemberian kredit dan investasi dana bank. Aktiva produktif yang dinilai kualitasnya meliputi penanaman dana baik dalam rupiah maupun valuta asing, dalam bentuk kredit dan surat berharga (Siamat, 2005)
Risiko kredit yang diterima bank merupakan salah satu risiko usaha bank, yang diakibatkan dari tidak dilunasinya kembali kredit yang diberikan oleh pihak bank kepada debitur. Oleh karena itu kemampuan pengelolaan kredit sangat diperlukan oleh bank yang bersangkutan (Sinungan, 2000). Dalam penelitian ini karena penelitian digunakan pada BPRS, maka digunakan rasio NPF dalam menunjukkan kemampuan manajemen BPRS dalam mengelola pembiayaan bermasalah.


2.4. Ukuran Bank
Ukuran bank adalah suatu skala, dimana dapat diklasifikasikan besar kecilnya bank menurut berbagai cara. Pada perbankan ukuran (size) lebih cenderung dilihat dari total assetnya mengingat produk utamanya adalah pembiayaan serta investasi (Firmansyah, 2013). Bank dengan aset yang besar memliki kemungkinan untuk menghasilkan keuntungan yang lebih besar apabila diikuti dengan hasil dari aktivitasnya. Menurut Misra dan Dhal (2010) bank-bank besar lebih cenderung memiliki tingkat kredit macet lebih tinggi karena kendala neraca, bank-bank kecil bisa menunjukkan lebih manajerial efisiensi dari bank-bank besar dalam hal penyaringan pinjaman dan pemantauan pasca pinjaman, yang menyebabkan tingkat kegagalan lebih rendah. Pernyataan ini ditegaskan oleh penelitian yang dilakukan oleh Khemraj dan Pasha (2005) dan Jayanti (2013) menemukan hasil bahwa ukuran berpengaruh positif terhadap NPL. Namun penelitian yang dilakukan oleh Ranjan dan Dhal (2003) menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif antara ukuran dengan NPL.
Berdasarkan teori dan hasil penelitian yang merujuk pada statement Misra dan Dhal (2010), maka hipotesis pertama yang diambil sebagai berikut :
H1: Ukuran bank berpengaruh positif terhadap NPF

2.5. Finance to Deposit Ratio
LDR adalah rasio keuangan perusahaan perbankan yang berhubungan dengan aspek likuiditas. LDR merupakan perbandingan antara seluruh jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima bank (Dendawijaya, 2005:116). Dalam perbankan syariah, istilah yang digunakan yaitu FDR atau Finance to Deposit Ratio yang digunakan untuk mengukur jumlah dana pihak ketiga yang disalurkan dalam bentuk pembiayaan. Rasio yang tinggi menunjukkan bahwa suatu bank meminjamkan seluruh dananya (loan-up) atau relatif tidak likuid (illiquid). Artinya, semakin banyak dana yang dikeluarkan dalam pembiayaan, maka semakin tinggi FDR, dan kemungkinan terjadi resiko pembiayaan macet semakin tinggi pula.
            Hasil penelitian Misra dan Dhal (2009) dalam Diyanti (2012) yang didukung oleh Adisaputra (2012) menunjukkan bahwa LDR berpengaruh positif terhadap NPL. Namun bertentangan dengan penelitian Faiz (2010) dan Soebagio (2005) menunjukkan LDR berpengaruh negatif terhadap NPL.
            Oleh karena itu berdasarkan teori dan hasil penelitian di atas, maka hipotesis kedua yang diambil adalah:
H2: FDR berpengaruh positif terhadap NPF

2.5. Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO)
Salah satu komponen rentabilitas BPRS adalah rasio BOPO (Biaya Operasional Pendapatan Operasional), yaitu rasio biaya operasional yang dikeluarkan untuk menghasilkan pendapatan operasional. Rasio BOPO ini berkaitan erat dengan kegiatan operasional BPRS, yaitu penghimpunan dana dan penggunaan dana. biaya operasional BPRS yang terlalu tinggi atau sama dengan pendapatan operasional tidak akan mendatangkan keuntungan bagi BPRS. Pendapatan BPRS yang tinggi dengan biaya operasional yang rendah dapat menekan rasio BOPO sehingga BPRS berada pada posisi sehat, yang artinya kencederungan untuk meminimalisir terjadinya kredit macet dapat diatasi.
Semakin kecil rasio ini berarti semakin efisien biaya operasional yang dikeluarkan bank yang bersangkutan. Menurut Dendawijaya (2009:98) rasio biaya operasional digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Menurut ketentuan Bank Indonesia efisiensi operasi diukur dengan BOPO dengan batas maksimum BOPO adalah 90%. Efisiensi operasi juga mempengaruhi kinerja bank, BOPO menunjukkan apakah bank telah menggunakan semua faktor produksinya dengan tepat guna dan berhasil.
Menurut ketentuan Bank Indonesia efisiensi operasi diukur dengan BOPO dengan batas maksimum BOPO adalah 90%. Efisiensi operasi juga mempengaruhi kinerja bank, BOPO menunjukkan apakah bank telah menggunakan semua faktor produksinya dengan tepat guna dan berhasil. Ketika sesuai dengan standar, maka Bank tersebut mampu menyalurkan kredit dengan lancar karena kinerja keuangan bank juga lancar. Sehingga BOPO menjadi ukuran efisiensi perbankan.
Hasil penelitian Altunbas et al. (2000) menemukan bahwa ada hubungan negatif antara bank yang tidak efisien dengan non performing loan. Hasil penelitian ini konsisten dengan Hughes dan Mester (1993) dan Girardone et al. (2004), serta beberapa penelitian di dalam negeri seperti hasil penelitian Wardoyo (2009) dan Adisaputra (2012) menunjukkan bahwa BOPO berpengaruh positif terhadap NPL.
Berdasarkan teori dan hasil penelitian di atas, maka hipotesis ketiga adalah:
H3: BOPO berpengaruh positif terhadap NPF

2.7. Gross Domestic Product (GDP)
Menurut McEachern (2000) dalam Diyanti (2012), GDP artinya mengukur nilai pasar dari barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh sumber daya yang berada dalam suatu negara selama jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. Menurut Sukirno (2004) pertumbuhan ekonomi merupakan pertumbuhan GDP yang dalam hal ini tingkat pertumbuhan GDP adalah pada tahun tertentu dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peningkatan konsumsi yang diiringi dengan menurunnya investasi dan tingkat GDP riil maka mengindikasikan penurunan dalam memproduksi barang dan jasa (Soebagio, 2005). Hal tersebut akan mempengaruhi tingkat hasil usaha yang diperoleh perusahaan yang merupakan sumber dana dalam pembayaran kredit dari lembaga perbankan. Oleh karena itu jika GDP meningkat maka resiko terjadinya kredit macet (NPL) akan menurun. Hal ini sesuai dengan kesimpulan dari penelitian Greenidge dan Grosvenor (2009) yang menyatakan bahwa semakin tinggi GDP maka akan semakin kecil NPL. Namun berbeda dengan Ahmed (2006) yang menunjukkan bahwa GDP berpengaruh positif terhadap NPL.
Berdasarkan teori dan hasil penelitian di atas, dapat diambil hipotesis keempat yaitu sebagai berikut :
H4 : GDP berpengaruh negatif terhadap NPF

2.8. Inflasi
Menurut Kamus Bank Indonesia, inflasi adalah keadaan perekonomian yang ditandai oleh kenaikan harga secara cepat sehingga berdampak pada menurunnya daya beli, sering pula diikuti menurunnya tingkat tabungan dan atau investasi karena meningkatnya konsumsi masyarakat dan hanya sedikit untuk tabungan jangka panjang. Inflasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang.
Menurut Martono dan Harjito (2008) dalam Diyanti (2012), inflasi akan mempengaruhi kegiatan ekonomi baik secara makro maupun mikro termasuk kegiatan investasi. Inflasi juga menyebabkan penurunan daya beli masyarakat yang berakibat pada penurunan penjualan. Penurunan penjualan yang terjadi dapat menurunkan return perusahaan. Penurunan return yang terjadi akan mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam membayar angsuran kredit. Pembayaran angsuran yang semakin tidak tepat emenimbulkan kualitas kredit semakin buruk bahkan terjadi kredit macet (Taswan, 2006) sehingga akan meningkatkan nilai Non Performing Finance.
Seperti hasil penelitian Greenidge dan Grosvenor (2010), Soebagio (2005) dan Greenidge & Grosvenor (2010) yang menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat inflasi maka akan semakin tinggi pula tingkat NPL, maka dapat diambil hipotesis kelima yaitu sebagai berikut:
H5: Inflasi berpengaruh positif terhadap NPF

3. Model Penelitian
Berdasarkan variabel-variabel penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya baik melalui kajian teoritis maupun hasil penelitian, maka model penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:



 Gambar 1: Model Penelitian (tidak disajikan di sini)

4. Metode Penelitian
4.1. Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh BPRS yang ada di Indonesia pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 dengan data yang diambil dari statistik perbankan syariah. Sehingga data yang diperoleh adalah data rata-rata dari seluruh BPRS yang ada di Indonesia. Periode data yang diambil yaitu data bulanan sehingga dari 3 tahun periode pengamatan maka diperoleh 36 observasi.

4.2. Teknik Analisis
Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi berganda dengan persamaan kuadrat terkecil (ordinary least square/OLS) dengan model dasar sebagai berikut:

NPF = a - b1 UB+ b2 FDR + b3 BOPO - b4 GDP + b5 INFLASI + e

Dalam melakukan analisis uji hipotesis, prosedur yang dilakukan dibantu dengan menggunakan program komputer yaitu SPSS Ver. 16,0 for Window.

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar

Buku

Buku
Tanggungjawab Sosial Perbankan Syariah
Diberdayakan oleh Blogger.

Top Menu(DO NOT EDIT HERE!)

Social Icons

Video

Flag Counter

Followers

Featured Posts

Translate

Ordered List

Ergi Collection

Ergi Collection

Popular Posts

Our Facebook Page