Faktor
Penyebab Terjadinya Pembiayaan Bermasalah Pada BPRS di Indonesia
Irman
Firmansyah
Staf Pengajar
pada Prodi Akuntansi FE UNSIL
Konsultan pada Smart
Consulting
Email:
irman.firmansyah@akuntanindonesia.or.id
Abstrak
NPF is indicator that show problem in managing finance
at BPRS so
that author interested to analyze factors that influence to NPF at BPRS in Indonesia there are size, FDR, BOPO, GDP and inflasi. This Research is empirical study at BPRS in 3 periods of observation in 2010-2012. Method applied
this research is analytical quantitative method
with empirical
study approach. Data collecting technique
by through secondary data that is data obtained from Indonesia sharia banking
statistic. Analyzer applied is Ordinary Lease Square (OLS). The result shows that FDR and GDP have positivelly affect, inflasi have negativelly
affect, but size and BOPO have not affect to NPF at BPRS in Indonesia
Keywords: Size, BOPO,
FDR, GDP, Inflasi, BPRS, OLS
1. Latar Belakang
Bank
merupakan lembaga keuangan yang terpenting yang mempengaruhi perekonomian baik
secara mikro maupun secara makro. Fungsinya sebagai perantara keuangan (financial
intermediary) antara pihak-pihak yang surplus dengan pihak-pihak yang
membutuhkan dana atau defisit. Dalam menjalankan usahanya sebagai lembaga
keuangan yang menjual kepercayaan dan jasa, setiap bank berusaha sebanyak
mungkin menarik nasabah baru, memperbesar dana-dananya dan juga memperbesar
pemberian kredit dan jasa-jasanya (Simorangkir, 2004). Menurut Undang-Undang
Perbankan No. 10 Tahun 1998, jenis perbankan terdiri dari Bank Umum dan Bank
Perkreditan Rakyat (BPR). Sedangkan
pada perbankan syariah BPR yang dimaksud yaitu Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
(BPRS).
Sebagian
besar bank yang ada di
Indonesia masih mengandalkan kredit sebagai pemasukan utama dalam membiayai
operasionalnya. Menurut Siamat (2005) salah satu alasan
terkonsentrasinya usaha bank dalam penyaluran kredit adalah sifat usaha bank
sebagai lembaga intermediasi antara unit surplus dengan unit defisit, dan
sumber utama dana bank berasal dari masyarakat sehingga secara moral mereka
harus menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Sebagaimana
umumnya negara berkembang, sumber pembiayaan dunia usaha di Indonesia masih didominasi
oleh penyaluran kredit perbankan yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi. Pemberian kredit merupakan aktivitas bank yang paling utama dalam
menghasilkan keuntungan, tetapi risiko yang terbesar dalam bank juga bersumber
dari pemberian kredit. Oleh karena itu pemberian kredit harus dikawal dengan
manajemen risiko yang ketat (InfoBankNews.com, 2007 dalam Pratama, 2010).
Pada
perbankan syariah, istilah kredit tidak digunakan karena identik mengandung
unsur riba yang diharamkan oleh agama, sehingga istilah yang digunakan yaitu
pembiayaan. Berbeda dengan kredit, pembiayaan lebih mengutamakan unsur
kesepakatan dan transparansi sehingga niali-nilai islam tetap terjaga. Pada
kenyataannya dari jumlah pembiayaan yang disalurkan kepada masyarakat tersebut tidak semua pembiayaan
berkategori sehat tetapi diantaranya merupakan pembiayaan yang mempunyai kualitas buruk
atau bermasalah. Pembiayaan bermasalah ini dalam dunia perbankan syariah disebut
Non Performing Finance (NPF), ini
merupakan fenomena biasa dalam dunia bisnis karena salah satu kegiatan utama
perbankan syariah berasal dari penyaluran pembiayaan. Jika pembiayaan bermasalah
melampaui batas kemampuan, maka akan menjadi masalah serius yang akan
mengganggu profitabilitas bank bahkan mengancam likuiditas terutama pada bank yang
mempunyai kedekatan dengan masyarakat kecil seperti BPRS.
Beberapa hasil penelitian
mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya
pembiayaan macet ternyata mempunyai
hasil yang berbeda-beda, yang terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal
seperti pada penelitian berikut:
Dari aspek internal,
Adisaputra (2012) menemukan hasil bahwa BOPO dan Loan to Deposit Ratio (LDR) berpengaruh positif terhadap NPL. Altunbas
et al. (2000),
Hughes and Mester (1993) dan Girardone et al. (2004) menemukan bahwa ada
hubungan negatif antara bank yang tidak efisien (BOPO) dengan non performing loan. Begitupun Misra
dan Dhal (2009) dalam Diyanti (2012) menemukan bahwa BOPO berpengaruh positif terhadap NPL,
Berbeda dengan Faiz (2010) yang menemukan hasil bahwa LDR berpengaruh negatif
terhadap NPL. Faktor lainnya yaitu ukuran bank pada penelitian Misra dan Dhal (2010) mengemukakan bahwa ukuran berpengaruh positif terhadap NPL. Sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh Ranjan dan Dhal (2003) dalam Jayanti (2013)
menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif antara ukuran dengan NPL.
Adapun faktor penyebab pembiayaan
bermasalah dari
sisi eksternal yang direpresentasikan oleh Gross Domestic Product (GDP) dan
inflasi. Salas dan Saurina (2002) menunjukkan adanya hubungan antara GDP
dengan NPL. Hasil penelitian itu ditegaskan oleh Jimenez and Saurina (2005)
bahwa NPL dipengaruhi oleh GDP. Wu, et al (2003) dalam penelitian mereka menunjukkan
bahwa GDP berpengaruh negatif signifikan terhadap kredit bermasalah. Sementara
dalam penitian Khemraj dan Pasha (2012), Rahmawulan (2008), Ahmed (2006) dan Lindiawati (2007) dalam Mutamimah
dan Chasanah (2012) menunjukkan hal sebaliknya, GDP berpengaruh positif signifikan terhadap
kredit bermasalah. Lain lagi penelitian Soebagia (2005), Nasution dan Williasih
(2007), dalam penelitian mereka diketahui bahwa GDP tidak berpengaruh
signifikan terhadap kredit bermasalah.
Sedangkan penelitian seperti penelitian oleh Soebagia (2005), Rahmawulan (2008), dan Faiz (2010), diketahui bahwa inflasi berpengaruh positif signifikan
terhadap kredit bermasalah. Sedangkan dalam penelitian Wu, et al. (2003) dan Ihsan (2011) dinyatakan tidak ada pengaruh signifikan
antara inflasi terhadap kredit bermasalah.
Berdasarkan
hasil penelitian di
atas kebanyakan penelitian
dilakukan pada perbankan konvensional baik yang dilakukan di dalam
negeri maupun di luar negeri dengan
hasil penelitian masih belum konsisten sehingga diperlukan sebuah
kajian kembali mengenai faktor-faktor
penyebab terjadinya Non Performing Finance (NPF) pada BPRS di Indonesia di antaranya faktor internal terdiri dari ukuran
bank, FDR, BOPO serta faktor eksternal yaitu Gross Domestic Product (GDP) dan
inflasi. Penelitian ini dilakukan pada BPRS karena BPRS mempunyai tujuan
membantu perekonomian masyarakat bawah terutama di daerah dengan semangat
ukhuwah islamiyah sehingga sangat penting untuk diketahui faktor-faktor yang
menjadi kendala dalam menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat.
2. Telaah Pustaka
2.1. Teori Decision Usefulness
Teori kegunaan keputusan (decision usefulness theory) telah
dikenal sejak tahun 1954 dan menjadi referensi dari penyusunan kerangka
konseptual Financial Accounting Standard
Boards (FASB), yaitu Statement of Financial Accounting Concepts
(SFAC) yang berlaku di Amerika Serikat. Kegunaan-keputusan informasi
akuntansi mengandung komponen-komponen yang perlu dipertimbangkan oleh para
penyaji informasi akuntansi agar cakupan yang ada dapat memenuhi kebutuhan para
pengambil keputusan yang akan menggunakannya.
Perspektif
pelaporan keuangan yang memfokuskan pelaporan informasi yang berguna bagi
investor disebut pendekatan kegunaan-keputusan (decision usefulness approach).
Orang pertama yang menggunakan paradigma kegunaan keputusan (decision
usefulness) adalah Chambers. Ia mengatakan sebagai berikut (Belkoui,
2001:14):
“Oleh
karenanya, akibat yang wajar dari asumsi manajemen rasional adalah bahwa
seharusnya ada sistem yang menyajikan suatu informasi; seperti sistem yang
diperlukan baik untuk dasar pembuatan keputusan atau dasar untuk memperoleh
kembali konsekuensi keputusan… Sistem yang menyajikan informasi secara formal
akan menyesuaikan dengan dua dalil umum. Pertama adalah kondisi dari setiap
wacana ilmiah, sistem seharusnya secara logika konsisten; tidak ada aturan atau
proses yang dapat bertentangan dengan setiap aturan atau proses lainnya. Kedua
muncul dari pemakai laporan akuntansi sebagai dasar pembuatan keputusan dari
konsekuensi praktik, informasi yang dihasilkan oleh setiap sistem seharusnya
relevan dengan berbagai bentuk pembuatan keputusan yang diharapkan dapat
digunakan”.
Terdapat
dua perspektif dalam pendekatan kegunaan-keputusan, yaitu perspektif informasi
(information perspective) dan perspektif pengukuran (measurement perspective)
(Beaver, 1998; Scott, 2009). Perspektif informasi lebih menekankan pengungkapan
penuh (full disclosure), apapun bentuknya, untuk meningkatkan kegunaan
informasi akuntansi bagi investor. Perspektif informasi didasari asumsi bahwa
terdapat cukup banyak investor rasional terinformasi, yang dapat secara cepat
dan tepat memasukkan bentuk pengungkapan apapun ke dalam harga pasar yang
efisien. Sebaliknya, perspektif pengukuran lebih menekankan peran fundamental
dari informasi akuntansi keuangan untuk menentukan nilai perusahaan.
Kaitan teori decision usefulness dengan penelitian ini yaitu bahasan
yang dikaji mengenai informasi yang tersaji dalam laporan keuangan yaitu
mengenai informasi-informasi yang dibutuhkan dan digunakan oleh investor dalam
mengambil keputusan untuk berinvestasi terutama variabel non performing finance (NPF) serta faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu faktor
internal (rasio keuangan) dan faktor eksternal (makroekonomi).
2.2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
Menurut UU Perbankan No. 7 tahun
1992 Pasal 1 ayat (3) bahwa BPRS adalah lembaga keuangan yang menerima simpanan
ung hanya dalam bentuk deposito berjangka tabungan, dan atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dalam bentuk itu dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR.
Sedangkan menurut UU Perbankan No. 10 tahun 1998 Pasal 1 ayat (4) bahwa BPR
adalah lembaga keuangan bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa BPRS adalah BPR konvensional yang operasionalnya bedasarkan
prinsip syariah. Pelaksanakan BPR yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selanjutnya diatur menurut
SK Direktur BI No. 32/36/KEP/DIR/1999 tanggal 12 Mei 1999 tentang BPR
berdasarkan prinsip syariah.
2.3
Non Performing Finance (NPF)
Tingkat
kelangsungan usaha bank berkaitan erat dengan aktiva produktif yang
dimilikinya, oleh karena itu manajemen bank dituntut untuk senantiasa dapat
memantau dan menganalisis kualitas aktiva produktif yang dimiliki. Kualitas
aktiva produktif menunjukkan kualitas asset sehubungan dengan risiko kredit
yang dihadapi oleh bank akibat pemberian kredit dan investasi dana bank. Aktiva
produktif yang dinilai kualitasnya meliputi penanaman dana baik dalam rupiah
maupun valuta asing, dalam bentuk kredit dan surat berharga (Siamat, 2005)
Risiko kredit
yang diterima bank merupakan salah satu risiko usaha bank, yang diakibatkan
dari tidak dilunasinya kembali kredit yang diberikan oleh pihak bank kepada
debitur. Oleh karena itu kemampuan pengelolaan kredit sangat diperlukan oleh
bank yang bersangkutan (Sinungan, 2000). Dalam penelitian ini karena penelitian
digunakan pada BPRS, maka digunakan rasio NPF dalam menunjukkan kemampuan
manajemen BPRS dalam mengelola pembiayaan bermasalah.
2.4. Ukuran Bank
Ukuran
bank adalah suatu skala, dimana dapat diklasifikasikan besar kecilnya bank
menurut berbagai cara. Pada perbankan ukuran (size) lebih cenderung
dilihat dari total assetnya mengingat produk utamanya adalah pembiayaan serta
investasi (Firmansyah, 2013). Bank dengan aset yang besar memliki kemungkinan
untuk menghasilkan keuntungan yang lebih besar apabila diikuti dengan hasil
dari aktivitasnya. Menurut Misra dan Dhal (2010) bank-bank besar lebih
cenderung memiliki tingkat kredit macet lebih tinggi karena kendala neraca,
bank-bank kecil bisa menunjukkan lebih manajerial efisiensi dari bank-bank
besar dalam hal penyaringan pinjaman dan pemantauan pasca pinjaman, yang
menyebabkan tingkat kegagalan lebih rendah. Pernyataan ini ditegaskan oleh
penelitian yang dilakukan oleh Khemraj dan Pasha (2005) dan Jayanti (2013)
menemukan hasil bahwa ukuran berpengaruh positif terhadap NPL. Namun penelitian
yang dilakukan oleh Ranjan dan Dhal (2003) menyatakan bahwa terdapat pengaruh
negatif antara ukuran dengan NPL.
Berdasarkan
teori dan hasil penelitian yang merujuk pada statement Misra dan Dhal (2010), maka hipotesis pertama yang
diambil sebagai berikut :
H1: Ukuran bank berpengaruh positif terhadap NPF
2.5.
Finance to Deposit Ratio
LDR
adalah rasio keuangan perusahaan perbankan yang berhubungan dengan aspek
likuiditas. LDR merupakan perbandingan antara seluruh jumlah kredit yang
diberikan bank dengan dana yang diterima bank (Dendawijaya, 2005:116). Dalam
perbankan syariah, istilah yang digunakan yaitu FDR atau Finance to Deposit Ratio yang digunakan untuk mengukur jumlah dana
pihak ketiga yang disalurkan dalam bentuk pembiayaan. Rasio yang tinggi
menunjukkan bahwa suatu bank meminjamkan seluruh dananya (loan-up) atau
relatif tidak likuid (illiquid). Artinya, semakin banyak dana yang
dikeluarkan dalam pembiayaan, maka semakin tinggi FDR, dan kemungkinan terjadi
resiko pembiayaan macet semakin tinggi pula.
Hasil
penelitian Misra dan Dhal (2009) dalam Diyanti
(2012) yang didukung oleh Adisaputra (2012) menunjukkan bahwa LDR berpengaruh
positif terhadap NPL. Namun bertentangan dengan penelitian Faiz (2010) dan
Soebagio (2005) menunjukkan LDR berpengaruh negatif terhadap NPL.
Oleh
karena itu berdasarkan teori dan hasil penelitian di atas, maka hipotesis kedua
yang diambil adalah:
H2: FDR
berpengaruh positif terhadap NPF
2.5. Biaya Operasional Pendapatan
Operasional (BOPO)
Salah
satu komponen rentabilitas BPRS adalah rasio BOPO (Biaya Operasional Pendapatan
Operasional), yaitu rasio biaya operasional yang dikeluarkan untuk menghasilkan
pendapatan operasional. Rasio BOPO ini berkaitan erat dengan kegiatan
operasional BPRS, yaitu penghimpunan dana dan penggunaan dana. biaya
operasional BPRS yang terlalu tinggi atau sama dengan pendapatan operasional
tidak akan mendatangkan keuntungan bagi BPRS. Pendapatan BPRS yang tinggi
dengan biaya operasional yang rendah dapat menekan rasio BOPO sehingga BPRS
berada pada posisi sehat, yang artinya kencederungan untuk meminimalisir
terjadinya kredit macet dapat diatasi.
Semakin
kecil rasio ini berarti semakin efisien biaya operasional yang dikeluarkan bank
yang bersangkutan. Menurut Dendawijaya
(2009:98) rasio biaya operasional digunakan untuk mengukur tingkat
efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Menurut
ketentuan Bank Indonesia efisiensi operasi diukur dengan BOPO dengan batas
maksimum BOPO adalah 90%. Efisiensi operasi juga mempengaruhi kinerja bank,
BOPO menunjukkan apakah bank telah menggunakan semua faktor produksinya dengan
tepat guna dan berhasil.
Menurut
ketentuan Bank Indonesia efisiensi operasi diukur dengan BOPO dengan batas
maksimum BOPO adalah 90%. Efisiensi operasi juga mempengaruhi kinerja bank,
BOPO menunjukkan apakah bank telah menggunakan semua faktor produksinya dengan
tepat guna dan berhasil. Ketika sesuai dengan standar, maka Bank tersebut mampu
menyalurkan kredit dengan lancar karena kinerja keuangan bank juga lancar. Sehingga
BOPO menjadi ukuran efisiensi perbankan.
Hasil
penelitian Altunbas et al. (2000) menemukan bahwa ada hubungan negatif
antara bank yang tidak efisien dengan non
performing loan. Hasil penelitian ini konsisten dengan Hughes dan Mester
(1993) dan Girardone et al. (2004), serta beberapa penelitian di dalam
negeri seperti hasil penelitian Wardoyo (2009) dan Adisaputra (2012)
menunjukkan bahwa BOPO berpengaruh positif terhadap NPL.
Berdasarkan
teori dan hasil penelitian di atas, maka hipotesis ketiga adalah:
H3: BOPO berpengaruh positif terhadap NPF
2.7.
Gross Domestic Product (GDP)
Menurut
McEachern (2000) dalam Diyanti (2012), GDP artinya mengukur nilai pasar dari
barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh sumber daya yang berada dalam suatu
negara selama jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. Menurut Sukirno (2004) pertumbuhan ekonomi
merupakan pertumbuhan GDP yang dalam hal ini tingkat pertumbuhan GDP adalah
pada tahun tertentu dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peningkatan konsumsi
yang diiringi dengan menurunnya investasi dan tingkat GDP riil maka
mengindikasikan penurunan dalam memproduksi barang dan jasa (Soebagio, 2005). Hal tersebut akan mempengaruhi
tingkat hasil usaha yang diperoleh perusahaan yang merupakan sumber dana dalam
pembayaran kredit dari lembaga perbankan. Oleh karena itu jika GDP meningkat
maka resiko terjadinya kredit macet (NPL) akan menurun. Hal ini sesuai dengan
kesimpulan dari penelitian Greenidge dan Grosvenor (2009) yang menyatakan bahwa
semakin tinggi GDP maka akan semakin kecil NPL. Namun berbeda dengan Ahmed
(2006) yang menunjukkan bahwa GDP berpengaruh positif terhadap NPL.
Berdasarkan teori dan hasil penelitian di atas, dapat
diambil hipotesis keempat yaitu sebagai berikut :
H4 : GDP berpengaruh negatif terhadap NPF
2.8. Inflasi
Menurut
Kamus Bank Indonesia, inflasi adalah keadaan perekonomian yang ditandai oleh
kenaikan harga secara cepat sehingga berdampak pada menurunnya daya beli,
sering pula diikuti menurunnya tingkat tabungan dan atau investasi karena
meningkatnya konsumsi masyarakat dan hanya sedikit untuk tabungan jangka
panjang. Inflasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi
masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi
atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga
akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang.
Menurut Martono dan Harjito (2008) dalam Diyanti
(2012), inflasi akan mempengaruhi kegiatan ekonomi baik secara makro maupun
mikro termasuk kegiatan investasi. Inflasi juga menyebabkan penurunan daya beli
masyarakat yang berakibat pada penurunan penjualan. Penurunan penjualan yang
terjadi dapat menurunkan return perusahaan. Penurunan return yang
terjadi akan mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam membayar angsuran kredit.
Pembayaran angsuran yang semakin tidak tepat emenimbulkan kualitas kredit
semakin buruk bahkan terjadi kredit macet (Taswan, 2006) sehingga akan meningkatkan
nilai Non Performing Finance.
Seperti hasil penelitian Greenidge dan Grosvenor (2010), Soebagio (2005) dan Greenidge & Grosvenor (2010)
yang menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat inflasi maka akan semakin tinggi
pula tingkat NPL, maka dapat diambil hipotesis kelima yaitu sebagai berikut:
H5: Inflasi berpengaruh positif terhadap NPF
3.
Model Penelitian
Berdasarkan
variabel-variabel penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya baik melalui
kajian teoritis maupun hasil penelitian, maka model penelitian dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1: Model Penelitian (tidak disajikan di sini)
4. Metode Penelitian
4.1. Populasi dan Sampel
Populasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh BPRS yang ada di Indonesia pada
tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 dengan data yang diambil dari statistik
perbankan syariah. Sehingga data yang diperoleh adalah data rata-rata dari
seluruh BPRS yang ada di Indonesia. Periode data yang diambil yaitu data
bulanan sehingga dari 3 tahun periode pengamatan maka diperoleh 36 observasi.
4.2. Teknik Analisis
Teknik analisis
yang digunakan adalah analisis regresi berganda dengan persamaan kuadrat
terkecil (ordinary least square/OLS) dengan model dasar sebagai berikut:
NPF = a - b1 UB+ b2 FDR + b3 BOPO - b4 GDP + b5 INFLASI
+ e
Dalam melakukan
analisis uji hipotesis, prosedur yang dilakukan dibantu dengan menggunakan
program komputer yaitu SPSS Ver. 16,0 for Window.
0 komentar:
Posting Komentar