Good
Corporate Governance atau dikenal dengan
nama Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (selanjutnya disebut “GCG”) muncul tidak
semata-mata karena adanya kesadaran akan pentingnya konsep GCG namun dilatar
belakangi oleh maraknya skandal perusahaan yang menimpa perusahaan-perusahaan
besar. Joel Balkan (2002) mengatakan bahwa perusahaan (korporasi) saat ini
telah berkembang dari sesuatu yang relative tidak jelas menjadi institusi
ekonomi dunia yang amat dominan. Kekuatan tersebut terkadang mampu mendikte
hingga ke dalam pemerintahan suatu negara, sehingga mejadi tidak berdaya dalam
menghadapi penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para pelaku bisnis
yang berpengaruh tersebut. Semua itu terjadi karena perilaku tidak etis
dan bahkan cenderung kriminal-yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang
memang dimungkinkan karena kekuatan mereka yang sangat besar disatu sisi, dan
ketidakberdayaan aparat pemerintah dalam menegakkan hukum dan pengawasan atas
perilaku para pelaku bisnis tersebut; disamping berbagai praktik tata kelola
perusahaan dan pemerintahan yang buruk.
Pada tahun 1999, kita melihat negara-negara di Asia
Timur yang sama-sama terkena krisis mulai mengalami pemulihan, kecuali
Indonesia. Harus dipahami bahwa kompetisi global bukan kompetisi antarnegara,
melainkan antarkorporat di negaranegara tersebut. Jadi menang atau kalah,
menang atau terpuruk, pulih atau tetap terpuruknya perekonomian satu negara
bergantung pada korporat masing-masing (Moeljono, 2005).
Salah
satu dampak signifikan yang terjadi adalah krisis ekonomi di suatu negara, dan
timbulnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sebagai akibat adanya
tata kelola perusahaan yang buruk oleh perusahan-perusahaan besar yangmana
mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi dan krisis kepercayaan para investor,
seperti yang terjadi di Amerika pada awal tahun 2000 dan tahun 2008 yang
mengakibatkan runtuhnya beberapa perusahan besar dan ternama dunia; disamping
juga menyebabkan krisis global dibeberapa belahan negara dunia. Sebagai contoh,
untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah amerika mengeluarkan Sarbanes-Oxley
Act tahun 2002; undang-undang dimaksud berisikan penataan kembali akuntansi
perusahaan publik, tata kelola perusahaan dan perlindungan terhadap investor.
Oleh karena itu, undang-undang ini menjadi acuan awal dalam penjabaran dan
penciptaan GCG di berbagai negara.
Pemahaman tersebut membuka wawasan bahwa korporat kita
belum dikelola secara benar. Dalam bahasa khusus, korporat kita belum
menjalankan governansi (Moeljono). Survey dari Booz-Allen di Asia Timur pada
tahun 1998 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki indeks Corporate Governance paling
rendah dengan skor 2,88 jauh di bawah Singapura (8,93), Malaysia (7,72) dan
Thailand (4,89). Rendahnya kualitas GCG korporasi-korporasi di Indonesia
ditengarai menjadi kejatuhan perusahaan-perusahaan tersebut. Konsultan manajemen McKinsey & Co,
melalui penelitian pada tahun yang sama, menemukan bahwa sebagian besar nilai
pasar perusahaan-perusahaan Indonesia yang tercatat di pasar modal (sebelum
krisis) ternyata overvalued. Dikemukakan bahwa sekitar 90% nilai pasar
perusahaan publik ditentukan oleh growth expectation dan sisanya 10%
baru ditentukan oleh current earning stream. Sebagai pembanding, nilai
dari perusahaan publik yang sehat di negara maju ditentukan dengan komposisi
30% dari growth expectation dan 70% dari current earning stream,
yang merupakan kinerja sebenarnya dari korporasi. Jadi, sebenarnya terdapat
”ketidakjujuran” dalam permainan di pasar modal yang kemungkinan.
Menurut Indaryanto, Di Asia, termasuk Indonesia, Corporate
Governance (CG) mulai banyak diperbincangkan pada
pertengahan tahun 1997, yaitu saat krisis ekonomi melanda negara-negara
tersebut. Berbeda dengan pelaksanaan CG di negara-negara maju, Black pada tahun
2001 menyatakan bahwa di negara-negara yang sedang berkembang (seperti di Asia)
pelaksanaan CG mempunyai variasi yang besar. Besarnya variasi tersebut
menyebabkan CG merupakan faktor yang berdampak signifikan untuk meningkatkan
nilai saham dari perusahaan (Black, Jang, dan Kim, 2003).
Kondisi pelaksanaan GCG oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat
digambarkan sebagai berikut:
Hasil survei yang dilakukan oleh Credit Lyonnaise Securities (CLSA) sejak
tahun 2001 sampai dengan tahun 2007 memberikan nilai yang rendah kepada
perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam mewujudkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG), bahkan jika
dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Secara garis besar, pelaksanaan
survai tersebut dapat dibagi dua. Pada tahun 2001 sampai dengan tahun
2003, CLSA melakukan penilaian terhadap
perlaksanaan CG berdasarkan pada tujuh dimensi berikut: (i) disiplin, (ii) transparansi, (iii)
kemandirian, (iv) akuntabilitas, (v) tanggung jawab, (vi) keadilan, dan (vii)
kepedulian sosial. Pada tahun 2004 sampai
dengan 2007, CLSA melakukan kerjasama dengan Asian Corporate Governance Association (ACGA) dalam menilai pelaksanaan
CG oleh perusahaan-perusahaan di kawasan Asia. Berbeda dengan tiga tahun
sebelumnya, kali ini penilaian pelaksanaan CG didasarkan pada lima dimensi
makro, yaitu: (i) hukum dan peraturan, (ii) penegakkan hukum dan peraturan baik
oleh regulator maupun oleh pasar, (iii) lingkungan politik, (iv) standar-standar
akuntansi dan auditing serta (v) budaya
CG.
0 komentar:
Posting Komentar