Rabu, 13 Mei 2015


Good Corporate Governance atau dikenal dengan nama Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (selanjutnya disebut “GCG”) muncul tidak semata-mata karena adanya kesadaran akan pentingnya konsep GCG namun dilatar belakangi oleh maraknya skandal perusahaan yang menimpa perusahaan-perusahaan besar. Joel Balkan (2002) mengatakan bahwa perusahaan (korporasi) saat ini telah berkembang dari sesuatu yang relative tidak jelas menjadi institusi ekonomi dunia yang amat dominan. Kekuatan tersebut terkadang mampu mendikte hingga ke dalam pemerintahan suatu negara, sehingga mejadi tidak berdaya dalam menghadapi  penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang  berpengaruh tersebut. Semua itu terjadi karena perilaku tidak etis dan bahkan cenderung kriminal-yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang memang dimungkinkan karena kekuatan mereka yang sangat besar disatu sisi, dan ketidakberdayaan aparat pemerintah dalam menegakkan hukum dan pengawasan atas perilaku para pelaku bisnis tersebut; disamping berbagai praktik tata kelola perusahaan dan pemerintahan yang buruk.

Pada tahun 1999, kita melihat negara-negara di Asia Timur yang sama-sama terkena krisis mulai mengalami pemulihan, kecuali Indonesia. Harus dipahami bahwa kompetisi global bukan kompetisi antarnegara, melainkan antarkorporat di negaranegara tersebut. Jadi menang atau kalah, menang atau terpuruk, pulih atau tetap terpuruknya perekonomian satu negara bergantung pada korporat masing-masing (Moeljono, 2005).


Salah satu dampak signifikan yang terjadi adalah krisis ekonomi di suatu negara, dan timbulnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sebagai akibat adanya tata kelola perusahaan yang buruk oleh perusahan-perusahaan besar yangmana mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi dan krisis kepercayaan para investor, seperti yang terjadi di Amerika pada awal tahun 2000 dan tahun 2008 yang mengakibatkan runtuhnya beberapa perusahan besar dan ternama dunia; disamping juga menyebabkan krisis global dibeberapa belahan negara dunia. Sebagai contoh, untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah amerika mengeluarkan Sarbanes-Oxley Act tahun 2002; undang-undang dimaksud berisikan penataan kembali akuntansi perusahaan publik, tata kelola perusahaan dan perlindungan terhadap investor. Oleh karena itu, undang-undang ini menjadi acuan awal dalam penjabaran dan penciptaan GCG di berbagai negara.

Pemahaman tersebut membuka wawasan bahwa korporat kita belum dikelola secara benar. Dalam bahasa khusus, korporat kita belum menjalankan governansi (Moeljono). Survey dari Booz-Allen di Asia Timur pada tahun 1998 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki indeks Corporate Governance paling rendah dengan skor 2,88 jauh di bawah Singapura (8,93), Malaysia (7,72) dan Thailand (4,89). Rendahnya kualitas GCG korporasi-korporasi di Indonesia ditengarai menjadi kejatuhan perusahaan-perusahaan tersebut.  Konsultan manajemen McKinsey & Co, melalui penelitian pada tahun yang sama, menemukan bahwa sebagian besar nilai pasar perusahaan-perusahaan Indonesia yang tercatat di pasar modal (sebelum krisis) ternyata overvalued. Dikemukakan bahwa sekitar 90% nilai pasar perusahaan publik ditentukan oleh growth expectation dan sisanya 10% baru ditentukan oleh current earning stream. Sebagai pembanding, nilai dari perusahaan publik yang sehat di negara maju ditentukan dengan komposisi 30% dari growth expectation dan 70% dari current earning stream, yang merupakan kinerja sebenarnya dari korporasi. Jadi, sebenarnya terdapat ”ketidakjujuran” dalam permainan di pasar modal yang kemungkinan.

Menurut Indaryanto, Di Asia, termasuk Indonesia, Corporate Governance  (CG) mulai banyak diperbincangkan pada pertengahan tahun 1997, yaitu saat krisis ekonomi melanda negara-negara tersebut. Berbeda dengan pelaksanaan CG di negara-negara maju, Black pada tahun 2001 menyatakan bahwa di negara-negara yang sedang berkembang (seperti di Asia) pelaksanaan CG mempunyai variasi yang besar. Besarnya variasi tersebut menyebabkan CG merupakan faktor yang berdampak signifikan untuk meningkatkan nilai saham dari perusahaan (Black, Jang, dan Kim, 2003).

Kondisi pelaksanaan GCG oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:

Hasil survei yang dilakukan oleh Credit Lyonnaise Securities (CLSA) sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2007 memberikan nilai yang rendah kepada perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam mewujudkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG), bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Secara garis besar, pelaksanaan survai tersebut dapat dibagi dua. Pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2003,  CLSA melakukan penilaian terhadap perlaksanaan CG berdasarkan pada tujuh dimensi berikut: (i) disiplin, (ii) transparansi, (iii) kemandirian, (iv) akuntabilitas, (v) tanggung jawab, (vi) keadilan, dan (vii) kepedulian sosial. Pada tahun 2004 sampai dengan 2007, CLSA melakukan kerjasama dengan Asian Corporate Governance Association (ACGA) dalam menilai pelaksanaan CG oleh perusahaan-perusahaan di kawasan Asia. Berbeda dengan tiga tahun sebelumnya, kali ini penilaian pelaksanaan CG didasarkan pada lima dimensi makro, yaitu: (i) hukum dan peraturan, (ii) penegakkan hukum dan peraturan baik oleh regulator maupun oleh pasar, (iii) lingkungan politik, (iv) standar-standar akuntansi dan auditing serta  (v) budaya CG.

0 komentar:

Posting Komentar

Buku

Buku
Tanggungjawab Sosial Perbankan Syariah
Diberdayakan oleh Blogger.

Top Menu(DO NOT EDIT HERE!)

Social Icons

Video

Flag Counter

Followers

Featured Posts

Translate

Ordered List

Ergi Collection

Ergi Collection

Popular Posts

Our Facebook Page